JENIS DAN GAYA TARIAN


Di Cirebon sendiri, tarian topeng berkembang menjadi tarian rakyat yang hidup di desa-desa. Perkembangan itu tak lepas dari kebijakan Belanda pada masa pemerintahan Daendels pada abad ke-17 yang membatasi dana kesenian di Keraton Cirebon. Pembatasan itu membuat para senimannya memilih pulang ke desanya masing-masing.

Toto Amsar, Ketua Pusat Studi Topeng Cirebon, menemukan lebih dari 15 versi gaya topeng Cirebon yang pernah hidup di pantura. ”Desa-desa asal para seniman keraton itulah yang mengembangkan berbagai gaya tarian topeng Cirebon,” katanya.

Beberapa desa yang mengembangkan gaya tari topeng, di antaranya, adalah Losari, Slangit, Gegesik, Susukan, Kreyo, dan Kalianyar yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon; Desa Tambi, Pekandangan, Lelea, dan Bongas di Indramayu; Jatitujuh di Majalengka; dan Cipunagara di Subang.

Tarian topeng di tiap-tiap daerah itu bisa ditarikan dengan bermacam-macam gaya, tergantung dari asal desanya. Gaya Losari dari Cirebon timur, misalnya, ditarikan dengan gerakan kayang atau meliukkan tubuh ke belakang. Gaya ini tidak terdapat pada tarian topeng dari daerah lain.

Letak geografis Losari yang lebih dekat dengan Jawa Tengah membuat gaya topengnya terpengaruh tarian topeng Jateng yang mengisahkan cerita Panji, pangeran dari Jenggala. Tarian versi Losari ini biasa disebut juga topeng lakonan. Ada tujuh tarian topeng yang biasanya ditampilkan dalam satu rangkaian, yakni samba, patih jayabadra, kili padagunata, jinggan anom, tumenggung magangdiraja, klana bandopati, dan rumyang.

Sementara tarian dari wilayah barat, yaitu Palimanan, Gegesik, Susukan, Tambi, Kreo, dan Kalianyar, gerakan tariannya lebih mencerminkan simbol-simbol perjalanan hidup manusia. Urutan tariannya tak terikat pada pembabakan yang berjumlah lima, yaitu panji, samba (pamindo), rumyang, temenggung, dan klana.

Sukarta (70), dalang wayang, yang juga cucu maestro tari topeng suji dari Palimanan, menuturkan, perbedaan gaya salah satunya dipengaruhi oleh postur tubuh penari.

Kakek buyutnya, Ki Wentar, sengaja membuat bermacam posisi berdiri disesuaikan postur tubuh anak didiknya. Selain dari postur tubuh, perbedaan gerak juga bisa dipengaruhi penafsiran serta kepantasan gerak.

Endo Suanda, peneliti tari Cirebon, juga melihat perbedaan gaya antardaerah dikarenakan ada penyesuaian selera penonton dan estetika gerak di atas panggung.

Keragaman aturan gaya dalam tari topeng Cirebon itu justru menunjukkan bahwa tari topeng Cirebon adalah tarian rakyat, yang liberal mengikuti kreasi dalangnya.

Pada masa keemasan, penari topeng juga punya pengaruh, tepatnya perluasan pengaruh magi topeng ke ranah sosial.

Penari senior dari Palimanan, Nini (nenek) Keni Arja (60), misalnya, bercerita, dulu dirinya dan sejumlah penari topeng sampai dianggap sebagai sosok yang mumpuni ketika sedang menari di panggung.

Sosok penari dipercaya oleh masyarakat penontonnya sebagai perantara energi penyembuhan dan perantara pemberi berkah kebaikan. Peran seperti itu pernah dijal;ani juga oleh penari almarhumah Sawitri (dari Losari) almarhumah Rasinah (Indrmayu), dan penari pria almarhum Sujana Arja (Selangit, Palimanan). Yang terakhir ini adalah kakak kandung Nini Keni Arja.

Karena itu, ketika masih pentas di panggung, Keni Arja sering kali diminta memberi nama anak penonton yang baru dilahirkan. ”Sudah tak terhitung jumlahnya, saya diminta menjadi perantara pengobat penyakit dari penonton,” kata Keni.

Dalam sebuah panggung topeng itu, warga tak lagi melihat Keni sebagai manusia sehari-hari, tetapi sosok lain yang dianggap lebih digdaya (sakti).

Ø  Surut

Namun, masa keemasan topeng mulai surut. Dari 15 gaya yang pernah ada, kini hanya ada lima gaya yang bertahan, yakni Losari, Slangit, Gegesik, Palimanan, dan Pekandangan atau Tambi.

Di Gegesik yang menjadi pusat perkembangan tari, penari topeng kini tak sebanyak dulu. Menurut Nurdin M Noer, budayawan Cirebon, pada tiga dekade lalu hampir semua warga di Gegesik bisa menari topeng, entah itu anak penari, ataupun petani biasa. Topeng pun menjadi sesuatu yang wajib dipunyai. Namun, kini hal itu tak berlaku lagi. Jumlah penari hanya bisa dihitung dengan jari.

Keni Arja mengakui, susutnya minat pada tari topeng tak terlepas dari berubahnya selera masyarkat. Dulu, 30-40 tahun silam, dia hampir tak pernah berhenti menari karena selalu mendapatkan tawaran untuk menari.

Jika dirata-rata, 20 hari dalam sebulan hidupnya di atas panggung. Namun, kini, tawaran menari maksimal hanya datang 1-2 kali dalam sebulan sebab tariannya kalah bersaing dengan tarling dan organ tunggal.

Kini, para penari mudalah yang mencoba mempertahankan kekayaan tarian topeng yang tersisa. Topeng gaya Losari yang dulu dipopulerkan oleh Sawitri kini dilanjutkan oleh cucunya, Nur Anani atau Nani.

Topeng slangit juga diwarisi oleh Inu Kertapati. Adapun Wangi Indriya dan Aerly Rasinah masih tetap menjaga topeng gaya Indramayu.

Meski tak lagi populer di dunia pertunjukan, topeng hingga kini masih hidup dalam tradisi agraris dan pesisir warga di Pantura.

Di Lelea, sebuah kecamatan di pelosok Indramayu, tari topeng masih ditarikan setiap kali menjelang musim tanam setahun sekali.

Tari topeng mengiringi tradisi ngarot atau tradisi mencari jodoh remaja setempat. Ketika muda-mudi dipertemukan dalam arak-arakan, tari topeng akan dimainkan.

Topeng juga menjadi tarian yang wajib setiap kali ada upacara sedekah bumi atau sedekah laut di berbagai kampung nelayan, seperti Bondet, atau Gebang di Cirebon, hingga Eretan di Indramayu.

Hingga detik ini, upacara penghormatan di makam leluhur masyarakat desa di Tambi, Indramayu, masih diawali dengan permainan tari topeng
Ø  Jenis dan Gaya Tarian
Seni tari ini, memiliki beberapa jenis tarian, salah satunya yang cukup populer ialah tarian dengan lakon Kelana Kencana Wungu.
Kesenian jenis ini merupakan salah satu rangkaian dari Tari Topeng gaya Parahyangan, tariannya sendiri bercerita tentang Prabu Minakjingga yang mengejar-ngejar Ratu Kencana Wungu karena tergila-tergila pada sang ratu.
Pada dasarnya setiap topeng memiliki karkter masing-masing yang mengilustrasikan watak manusia.
Misalnya saja Kencana Wungu yang digambarkan denan topeng berwarna warna biru, mengilustrasikan karakter wanita yang lincah namun tetap anggun.
Lalu Minakjingga atau kerap juga disebut kelana, digambarkan dengan topeng yang berwarna merah mengilustrasikan karakter seseorang yang berangasan, tempramen dan kurang sabaran. Ini merupakan hasil karya Nugraha Soeradiredja.
Selain gaya Parahyangan, masih ada beberapa gaya tarian sejenis. Berikut beberapa diantaranya.
Ø  Gaya Beber
Tarian ini merupakan salah satu tarian yang lahir dari desa Beber, Ligung, Majalengka – Jawa Barat, dan sudah lama ada bahkan sejak abad 17. Mulanya tari tersebut masuk ke desa Beber karena dibawa oleh seniman yang berasa dari Gegesik, Cirebon.
Tari Topeng gaya Beber ini terbagi menjadi beberapa babak tarian berdasarkan interpretasi mengenai sifat manusia, yaitu.
  • Topeng Panji, menggambarkan karakter yang halus nan lembut
  • Topeng Samba menggambarkan karakter jiwa yang tengah tumbuh
  • Topeng Temenggung, mengambarkan karakter jiwa yang telah dewasa
  • Topeng Jinggananom dan Temenggung, menggambarkan pertarungan antara jiwa dengan karakter baik dan jahat.
  • Topeng Klana,  menggambarkan karakter jiwa yang penuh hawa nafsu serta emosi
  • Topeng Rumyang, menggambarkan karakter jiwa telah melepaskan diri dari nafsu duniawi dan berubah menjadi manusia sempurna.
Gaya Brebes
Diceritakan dalam Babad Tanah Losari jika Tari Topeng gaya Brebes ini dikembangkan oleh Pangeran Angkawijaya, seorang pangeran dari Kesultanan Cirebon yang sedang menepi ke wilayah Losari.
Dulunya seni ini dinamakan gaya Losari, namun karena terpengaruh tradisi lokal akhirnya sekarang lebih dikenal dengan Gaya Brebes.
Ø  Gaya Celeng
Sekanjutnya ada gaya Celeng yang termasuk salah satu gaya tarian dari tari Topeng yang awal penyebarannya berasal dari dusun Celeng, Loh Bener, kabupaten Indramayu- Jawa Barat.
Musik pengiring yang mengiringi pagelaran dengan gaya Celeng ini, ternyata memiliki beberapa kesamaan dengan alunan musik pengiring gaya Slangit dan Gegesik dan Slangit. Namun di beberapa bagian seperti gaya tabuhannya menggunakan Kembang Sungsang yang memiliki kekhasannya sendiri.
Ø  Gaya Cipunegara 
Gaya Cipunegara, seperti namanya tari topeng dengan gaya ini banyak tersebar di kawasan kecamatan Pegaden sampai ke daerah bantaran sungai Cipunegara yang berbatasan dengan kabupaten Indramayu. Perkembangan tari topeng dengan gaya Cipunegara ini tak lepas dari peran masyarakat.
Seni Tari gaya ini juga dikenal dengan sebutan tari topeng Menor, karena para penarinya memiliki suara dan paras yang cantik.
Selain itu tarian tersebut juga dikenal Tari Topeng Jati, karena pusat perkembangannya berada di desa Jati, Cipunegara, Subang.
Ø  Gaya Gegesik 
Tarian Gaya Gegesik tersebar di sekitar Gegesik – Cirebon. Keunikan dari tari Topeng gaya Gegesik ini ialah karakteristik raut topengnya. Seperti topeng Panji misalnya, di gaya Gegesik ini topeng tersebut digambarkan dengan wajah putih dengan karakteristik wajah yang tenang, bermata sipit namun memiliki tatapan yang tajam, berhidung mancung dengan senyum simpul.
Namun pada perkembangannya, seni tari gaya Gegesik ini pun turut berubah karena banyaknya pengaruh dari masyarakat dan lingkungan sekitar.
Ø  Gaya Losari
Tari Topeng ini tersebar di kawasan kecamatan Losari, Cirebon serta di kecamatan Losari, Brebes.
Karena letaknya yang berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Tengah, membuat gaya Losari dipengaruhi elemen budaya Jawa. Salah satu ciri khasnya, ada pada lantunan musik pengiring, gerakan serta busana penarinya.
Ø  Gaya Palimanan
Tarian ini dipopulerkan di wilayah kecamatan Palimanan, Cirebon. Tarian ini diringi dengan iringan tabuhan gamelan atau tetaluan dengan gaya yang khas, seperti Kembang Sungsang, Gaya-gaya, Malang Totog, Bendrong, Gonjing dan Kembang Kipas.
Ø  Gaya Pekandangan
Jenis tarian ini mengalami perkembangan yang pesat di desa Pekandangan-  kabupaten Indramayu. Gaya Pekandangan ini sendiri merupakan satu dari banyak gaya tari Topeng yang banyak berkembang di Indramayu.
Pembagian babak dalam tarian gaya Pekandangan sendiri merupakan gambaran dari hawa nafsu manusia yakni, Panji, Samba (topeng putih), Samba (topeng merah), Patih dan Klana.
Sesungguhnya masih ada banyak lagi gaya dan jenisnya. Seperti Gaya Tambi Gaya Sinar rancang, Gaya Kreyo, Gaya Slangit, Gaya Rancengan dan banyak lagi.
Semuanya memiliki ciri khasnya masing-masing. Hal ini menjadi salah satu cara melestarikan budaya kesenian daerah yang patut diapresiasi.
Demikian tadi informasi menarik tentang Tari Topeng khas Cirebon yang menjadi salah sau warisan budaya yang wajib dilestarikan dan dipertahankan terutama oleh para generasi milenial saat ini. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar